Rabu, 02 Mei 2012

Renungan

Lama saya tertegun. Memikirkan orang-orang yang selalu merayakan hari kelahirannya. Mengundang banyak orang untuk hadir, bersantap makanan hingga games-games untuk meriahkan suasana. Sorak tawa kegembiraan terpancar dari yang berulang tahun. Ucapan selamat serta do’a semoga panjang umur khususnya di ucapkan oleh yang hadir. Yang semakin membuat saya semakin miris adalah tatkala mendengar kabar bahwa biasanya setiap perayaan ulang tahun biasanya juga di hidangkan mie goreng special untuk ulang tahun yang biasa disebut sebagai mie goreng ulang tahun. Mie goreng tersebut disajikan dengan member makna dan harapan agar kelak umur semakin panjang, rezeki semakin mengalir layaknya mie goreng tersebut. Sebagaiman tradisi sebagian masyarakat tionghoa yang selalu menyajikan Mie Ulang Tahun sebagai hidangan wajib bagi setiap perayaan tersebut. Padahal umur dalam hal ini kematian adalah hal yang pasti, tidak bisa dimajukan dan tidak bisa dimundurkan. Allah swt berfirman : “Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (TQS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43) Memang, ada sabda Nabi saw. sebagai berikut: Siapa saja yang suka dilapangkan rezekinya dan ditambah umurnya hendaklah ia bersilaturahmi (HR al-Bukhari, Muslim, Abu dan Ahmad). Juga ada beberapa hadis semisalnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertambahan umur bukanlah penundaan ajal. Yang bertambah tidak lain adalah keberkahan umurnya dalam ketaatan kepada Allah. Bisa juga maknanya adalah bukan pertambahan umur biologis, tetapi umur sosiologis, yakni peninggalan, jejak atau atsar al-‘umri-nya yang terus mendatangkan manfaat dan pahala setelah kematian biologisnya. Abu Darda menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan mengakhirkan (kematian) seseorang jika telah datang ajalnya. Sesungguhnya bertambahnya umur itu dengan keturunan salih yang Allah karuniakan kepada seorang hamba, lalu mereka mendoakannya sesudah kematiannya sehingga doa mereka menyusulinya di kuburnya. Itulah pertambahan umur (HR Ibn Abi Hatim dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir di dalam tafsirnya QS Fathir: 11).
Selain anak salih, hadis lain menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat, sedekah jariah dan sunnah hasanah juga akan memperpanjang umur sosiologis seseorang. Pelakunya, meski telah mati secara biologis, seakan ia tetap hidup dan beramal dengan semua itu serta mendapat pahala karenanya. Maka sangat aneh jika ada seorang muslim merayakan ulang tahun dan mengharapkan agar umur nya menjadi panjang. Padahal dia seharusnya bersedih, karena jatah umur nya berkurang. Ya, itulah salah satu pengaruh dari pola fikir sebagian masyarakat kita. Perayaan tersebut seolah telah menjadi tradisi yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan saya pernah tahu ada sebuah keluarga yang selalu merayakan perayaan ulang tahun tersebut baik bagi yang baru berumur satu tahun hingga yang telah berumur (baca = uzur) sekalipun. Seakan haram hukum nya jika tidak dikerjakan. Kelahiran seorang manusia sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa. Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad Saw tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya, padahal beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidak pernah dikenal. Pandangan Islam Terhadap Ulang Tahun Memang, tidak ada satu pun nash baik dari al qur’an dan al hadist yang menyatakan bahwa merayakan ulang tahun itu adalah haram. Namun pula sebaliknya, tidak ada juga dalil yang menyatakan kebolehan tersebut. Disinilah pentingnya dilakukan kajian yang cermat terhadap fakta perayaan ulang tahun itu sendiri. Kalau kita cermati secara seksama, perayaan ulang tahun adalah buah dari kebudayaan barat yang di bawa ke negeri-negeri Islam oleh para penjajah. Ini tatkala negeri-negeri Islam di pecah belah menjadi lebih dari 57 negara pasca di runtuhnya khilafah Islam pada tanggal 03 maret 1924 silam. Sejak saat itu umat Islam mengalami kemerosotan di segala bidang, baik dari ekonomi, hukum, politik, social budaya. Dan perayaan ulang tahun hanya satu diantara sekian banyaknya kebudayaan asing yang di bawa masuk ke dalam negeri-negeri Islam tersebut. Maka jelas bahwa perayaan ulang tahun merupakan aktivitas yang bertasyabuh dengan orang-orang kafir. Memang tidak semua tasyabuh itu haram, karena memang ada batasan-batasannya. Namun untuk perayaan ulang tahun jelas merupakan tasyabuh yang bertentangan dengan Islam. Batasan tasyabbuh adalah seseorang melakukan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap apa yang menjadi ciri khas objek yang diserupai. Tasyabbuh terhadap orang-orang kafir maknanya adalah seorang muslim yang melakukan sesuatu hal dari kekhususan mereka. Adapun sesuatu yang telah umum tersebar di kaum muslimin dimana hal itu tidak membedakannya dengan orang-orang kafir, maka tidak termasuk tasyabbuh. Bukan pula termasuk sesuatu yang diharamkan dari sisi tasyabbuh-nya itu, kecuali jika sesuatu itu diharamkan dari sisi yang lain. Dan sebagaimana yang kita sudah fahami bersama bahwa perayaan ulang tahun adalah sesuatu yang khas bagi mereka. Maka dalam hal ini, Rasulullah saw mengingatkan kepada kita semua akan sabda nya : Tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir adalah haram meskipun tidak mempunyai maksud seperti mereka, dengan dalil hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang tasyabbuh dengan satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud didalam Sunannya dan lainnya) Hadits ini menetapkan berbagai hal tentang dilarangnya menyerupai orang-orang kafir. ‘Amr bin Syu’aib telah meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami. Jangan kalian menyerupai yahudi dan nashrani.” Ganti Merayakan Dengan Muhasabah Diri Kalau kita sudah sadar bahwa umur semakin berkurang sehingga tidak ada yang pantas dirayakan,maka sebaiknya kita melakukan muhasabah diri. Muhasabah diri memang tidak harus setahun sekali, tidak pula 6 bulan sekali, atau satu bulan sekali, karena seharusnya setiap hari kita bisa bermuhasabah diri kita, sejak bangun dari tempat tidur hingga kembali ke tempat tidur, kita bisa menghisab diri kita sendiri, selama perputaran waktu 24 jam, berapa jam yang kita habiskan untuk tidur, bekerja, nonton TV, bercanda dengan keluarga, kerabat, teman, sahabat, rekan kerja bahkan terhadap orang baru di kenal, berapa jam yang kita habiskan untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna, dan berapa jam yang tersisa untuk kita beribadah kepada Allah. Kalau sekarang umur kita 25 tahun, maka anggap saja kita hidup sampai umur 65 tahun, maka masih ada sisa 40 tahun. Saya tertarik ketika membaca sebuah artikel renungan hidup pada sebuah artikel cetak. Disana sang penulis menceritakan bagaimana ia terdiam dan tertunduk hingga menangis tatkala sahabat nya memberikan nasehat untuk menjalani sisa kehidupan ... Lihat Selengkapnyaselama berada di dunia ini. Teman nya tersebut berkata : “Andai jatah hidup kita di dunia ini 60 tahun, dengan usia kita saat ini 38 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 50 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 12 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 40 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umur kita sudah habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawa kita? Duh! Betapa singkatnya hidup 38 tahun. Jika demikian, betapa tidak akan terasa menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 22 tahun, 12 tahun, 2 tahun, atau malah cuma dua hari lagi…” Ia lalu melanjutkan: Andai selama 38 tahun itu kita tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidup kita hanya dipakai untuk tidur, yakni sekitar 12,7 tahun. Andai sisa waktu kita perhari yang tinggal 16 jam itu kita pakai 4 jam untuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan melakukan hal-hal yang tak berguna, berarti sisa waktu kita perhari tinggal 12 jam. Sebab, yang 12 jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal tadi. Dua belas jam berarti setengah hari. Jika ia dikalikan 38 tahun, berarti 19 tahun (separuh umur kita) hanya kita pakai untuk tidur dan melakukan hal-hal yang tak berguna. Ia pun bertutur lagi: Dalam usia 38 tahun itu, kita, misalkan, baru mulai bekerja efektif pada usia 25 tahun. Berarti kita bekerja sudah 13 tahun. Jika rata-rata kita bekerja 8 jam perhari, berarti kita telah menghabiskan waktu kita untuk bekerja 1/3×13 tahun=3,9 tahun. Artinya, dari 38 tahun itu kita menghabiskan total kira-kira 22,9 tahun hanya untuk tidur dan bekerja mencari dunia; termasuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, dan mungkin melakukan hal-hal tak berguna. Mari kita bandingkan dengan aktivitas ibadah kita, juga dakwah kita. Andai shalat kita yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total hanya 1,5 jam perhari, berarti kita hanya menghabiskan 547 jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya sekitar 23 hari pertahun. Andai kita baru benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat mulai balig), berarti kita baru menghabiskan sekitar 414 hari (=23×18 [38-15]) untuk shalat. Artinya, selama 38 tahun, kita menunaikan shalat hanya 1 tahun 49 hari! Sang penulis kemudian menyela teman nya tadi dan berkata“Bekerja kan termasuk ibadah juga.” Namun, segera temannya mengajukan pertanyaan retoris kepada dia: Baik. Sekarang bagaimana jika semua itu ternyata tidak bernilai di sisi Allah? Bagaimana jika amal-amal kita ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana jika shalat kita yang jarang sekali khusyuk itu ditolak oleh Allah? Bagaimana pula jika dakwah kita pun—yang mungkin kadang bercampur dengan riya dan tak jarang minimalis—tak dipandang oleh Allah? Betul. Kita tidak boleh pesimis. Kita harus penuh harap kepada Allah, semoga semua amal-amal kita Dia terima. Namun, kita pun sepantasnya khawatir jika semua amal yang selama ini kita anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian besarnya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzu billâh. Kita memang tidak berharap seperti itu. Di sisi lain, setiap hari, puluhan kali kita bermaksiat. Kalikan saja, misalkan, dengan 23 tahun usia kita (38 tahun dikurangi masa kanak-kanak prabalig). Ya,itulah yang bisa kita jadikan renungan akan kehidupan kita. Pandai-pandailah kita untuk menghisab diri kita sebelum kelak kita di hisab oleh Allah swt di yaumil Hisab. Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, "Orang yang cerdas adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’) Siapa ingin selamat dari kehinaan dan pertanyaan (hisab) pada hari qiyamat, ia harus menghisab dirinya didunia sebelum dihisab diakhirat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Alloh, Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan". (QS. Al Hasyr [59]: 18) Umar bin Khoththob rohh memahami makna ayat diatas dengan mendalam. Ia berkata kepada rakyatnya: "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah menghadapi hari qiyamat". (lihat, Tarikhu Umar: 201) Oleh karena itu, mari jadikan setiap waktu yang kita lalui, setiap tahun, bulan, minggu, hari, bahkan per detik untuk selalu mawas diri, menghitun-hitung berapa banyak amal shalih yang kita kerjakan berbanding dengan berapa banyak amal salah yang kita lakukan. Bukan malah bersorak ria dengan perayaan ulang tahun yang tidak bermakna, bahkan hakikatnya memang tidak layak untuk dirayakan Wallahu A’lam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar